Senin, 30 Maret 2015

Melihat (dunia) dari Atap Dunia


Menarik ! itu kata yang bisa saya gambarkan ketika sekali saya membaca tentang buku yang berjudul Perjalanan Ke Atap Dunia, awalnya saya pikir buku ini seperti buku perjalanan biasa, tetapi setelah mencoba untuk membacanya, saya tak henti membaca lembar demi lembar,karena seolah saya sedang membaca novel fiksi imajinatif, yang ternyata ini ksah nyata.. memang buku karangan Daniel Mahendra di kemas sebagai cerita perjalanan. namun, berbeda dengan buku perjalanan lain yang cenderung seperti celotehan promosi dari biro perjalanan, di buku ini justru menawarkan sudut pandang lain dalam seorang traveller yakni meraih sebuah mimpi, cita-cita,dan goal demi goal yang di kemas apik dalam esensi sebuah perjalanan.

Bab awal dalam buku menyuguhi mimpi seorang Daniel yang ingin sekali pergi ke dataran tertinggi di dunia ;Tibet.  Seperti ditarik kembali  kembali ketiap mimpi-mimpi pembaca ketika kanak-kanak, ketika kecil Ia juga bermimpi  untuk datang ke Tibet dari sebuah komik terbitan tahun 80an yang berjudul Tintin in Tibet. dalam bagian ini Daniel percaya apa yang di katakan Coelho bahwa “when you want something all the universe conspires in helping you to achieve it”. Di awal kita akan di ajak bermain di mimpi seorang Daniel dalam menggapai mimpinya, terlepas dari itu memang di buku ini akan banyak di temui quotes-quotes yang menginspirasi (terutama bagi mereka yamg memiliki keinginan kuat) dalam meraih impian.

Untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya, Daniel  bersikeras untuk tetap pergi ke Tibet, dengan berbagai upayanya, yang terkadang membuat pembaca berkelakar gemas perihal masalah-masalah yang datang bertubi-tubi kepadanya. Seperti ketika Daniel di hadapi dengan dilemma bahwa temannya Ijul yang menginspirasinya untuk pergi ke Tibet tidak jadi ikut, dan ketika Daniel malah mengurungkan niat pergi karena Tibet (yang pada saat itu) ditutup, karena memang negara tersebut sedang di invansi oleh cina, hingga keraguan Daniel kepada biro travel yang didasari oleh asas saling percaya, seperti yang mungkin dirasakan traveler lain ketika hendak menggunakan jasa agen perjalanan, hehehe…  hingga akhirnya danielpun mantap untuk pergi menuju Tibet.

Banyak nilai yang bisa diambil dalam buku ini, missal sudut pandang Daniel tentang sebuah kepercayaan, ketika dalam sebuah vihara ada banyak monk yang sedang melakukan ibadah, namun justru itu merupakan sebuah suguhan yang harus turis-turis (termasuk Daniel) nikmati, disitu Daniel merasa bahwa ibadah adalah hal pribadi yang tidak boleh di usik, namun bagi para turis lain (termasuk Juan teman seperjalanan Daniel) itu merupakan hal yang wajar, di situ bukan hanya sebuah  perbedaan dalam menyikapi agama yang merupakan ranah personal, tapi penulis juga berusaha menyentuh ranah  politis yang kadang merusak nilai sebuah kebudayaan, namun di gambarkan secara manusiawi oleh penulis.

Dalam buku ini terasa sekali “rasa” dari seorang traveler yakni, mencari sebuah esensi dari perjalanan seperti yang Daniel sering katakan bahwa perjalanan merupakan pencarian jati diri, maka Daniel merupakan sosok yang sangat ingin merasakan denyut nadi sebuah kehidupan di tiap daerah dan kota yang ia kunjungi, hanya untuk sekedar memperhatikan orang-orang di sekitarnya dan merefleksikannya dalam diri. Dari buku setebal 345 halaman ini salah satu bagian yang menarik bagi saya adalah ketika Daniel bertemu dengan penjaga warung kopi di terminal bus daerah pokhara yang bertanya tentang, “apa yang ia cari”, selama ini Daniel mencari apa? Itu merupakan sebuah pertanyaan besar bagi orang yang telah mewujudkan mimpinya, bahwa mimpi-mimpi ini bukan hanya sampai disini, tetapi akan terus berlanjut dengan goal-goal berikutnya, sejatinya perdebatan batin Daniel mungkin bisa pembaca rasakan disini (terlebih bila laki-laki) sang penjaga warung berkata secara tdak langsung bahwa laki-laki tidak akan pernah puas dalam mencari hal baru, untuk itu merasa cukuplah. lagi- dengan quotes “ Jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga dirumah” . “kelak anak dan istri dirumah adalah harta sebesar-besarnya yang kamu miliki”.

Terlepas dari beberapa pengulangan kalimat yang di utarakan dalam buku ini, salah satunya “Aku seperti Tom Hanks dalam film The Terminal” yang di ulang beberapa kali (hal 68,71,75,83)  Namun,bagian terpenting dalam buku ini adalah bukan hanya tentang sosok Daniel yang merupakan seorang pemimpi yang mewujudkan mimpinya semata, tetapi proses Daniel dalam menjalankan ide- mewujudkannya- dan berproses lagi kemudian. Terlebih buku ini sangat menginspirasi  terutama bagi mereka yang merasa bahwa dunia ini tidak sesempit mata dan pengetahuannya.

Rabu, 21 Mei 2014

Genderisasi Wanita ?

"Gender is the range of physical, biological, mental and behavioral characteristics pertaining to, and differentiating between, masculinity and femininity."
Itu yang disebut Wikipedia ketika penasaran saya mencari definisi Gender, perbedaan yang terdapat pada wanita dan pria merupakan turunan secara lahiriyah. terdapat jarak yang begitu naif antara gender satu (wanita) dengan gender yang lainnya (tentu saja pria). bagi saya (pria) wanita merupakan mahluk yang penuh misteri, perlu dipahami, perlu dimengerti bahkan beberapa orang ingin sekali menelanjanginya.

Hingga ber abad yang lalu, dari awal terbentuknya (wanita) dikisahkan bahwa hawa mampu menggoda adam itulah yang membuat wanita sangat menarik. itu yang membuat saya dapat sedikit membenarkan kata "perbedaan" antara wanita dan pria.
emosi dan logika yang membentuk perbedaan dasar antara wanita dan pria, wanita lebih cenderung didominasi oleh ideas-ideas seperti apa yang disebut Plato, dalam hal pengolahan realita. sehingga seringkali wanita lebih emosional ketimbang laki-laki ,berbeda dengan Nietzsche yang berpendapat bahwa terkadang manusia lebih memilih untuk membentuk ruang imaji ketimbang "realita seada-adanya", dia menyebut wanita memiliki kecenderungan dalam hal tersebut.

Gender merupakan cerita panjang ketika kita berbicara emansipasi yang sering di gaungkan secara seremonial pada  21 mei di Indonesia. pergulatan soal gender baik secara abstraksi maupun kehidupan sehari-hari sering di jumpai. yang menarik bagi saya (pria) adalah ketika wanita di tempatkan berada pada sistem yang bergerak berdasarkan perintah semata, tanpa adanya kesadaran. sehingga muncul sosok sosok seperti Kartini yang beranggapan perlu adanya kesadaran kaum-kaum yang rentan (wanita) yang mengalami diskriminasi hanya karena ketidak stabilan sebuah sistem (patriarkis).

Konsep penggambaran genderisasi pada sosok wanita secara epistimolog mampu mengkerdilkan sebuah gagasan-gagasan wanita yang berlangsung dari masa ke masa, sehingga memungkinkan wanita hanya menjadi komoditi yang di "mapankan" secara semu. lalu akan mengkebiri kita dalam sebuah halusinasi bahwa sosok "wanita sempurna" adalah wanita yang di konstruksi kaum penguasa yang justru mengubur gagasan kaum-kaum tertindas lainnya ?

Kamis, 10 April 2014

Konstruk


Berbeda dengan aristoteles, pakar komunikasi modern menyebut ethos adalah kredibilitas. Tidak perlu mendaftar definisi untuk memahami kredibilitas. Pernahkan Anda menyampaikan lelucon yang Anda persiapkan dengan serius? Anda tertawa sendiri. Beberapa diantara hadirin ikut tertawa dengan malas (mungkin karena factor menghargai semata). Sekali waktu, dalam Laporan Pembangunan ditelevisi , Anda mendengar seorang pejabat membuat lelucon. Tidak lucu, tetapi Anda mendengar gemuruh tertawa dari orang-orang disekitarnya. Bisa jadi lelucon itu betul-betul tidak lucu, tetapi orang itu tidak tertawa juga. Mengapa ? karena pejabat itu memiliki kredibilitas, sedangkan Anda tidak.

Hal tersebut sangat dipengaruhi Otoritas, Otoritas merupakan komponen penting dalam membangun kredibilitas, W.S Rendra tentu memiliki otoritas dalam bidang seni dan budaya. Begitu pula Kristianto Wibisono dalam bidang bisnis dan ekonomi. Otoritas dibentuk karena orang melihat latar belakang pendidikan dan pengalaman. Ahli agama islam yang belajar di Amerika dianggap tidak memiliki otoritas untuk memberikan ceramah keislaman, dibanding Ahli agama yang berpendidikan di mesir.

Pendefinisian seseorang menilik konsep dasar yang coba ditelisik oleh Herbert Mead, bahwa individu memiliki identitas hingga kita cenderung menilai kepribadian secara menyeluruh bukan pada prilakunya satu persatu yang disebut labeling. Kecenderungan sosial dalam menilai individu menstimulus individu tersebut bergerak menuju apa yang sosial katakan, hal tersebut juga berkenaan dengan passion, dan latar belakang keilmuan inidividu tersebut.

Di era demokrasi dan keterbukaan informasi, individu yang bertahan dalam kompetisi keilmuan menganggap bahwa kredibilitas yang dibangun bukan sekedar pemaknaan yang diterima oleh sosial hingga terbentuk tuntutan tuntutan yang sangat mempengaruhi individu, Tidak seekstrim Pavlov dalam teori behaviorisme repetisinya, tuntutan disini juga sangat dipengaruhi oleh pola pikir individu yang mampu menyaring apa yang tidak dan yang harus ia lakukan. Dalam hal ini terdapat pilihan yang sangat senjang antara diri, pemikiran dan lingkungan sosial seperti apa yang diungkap Herbert Mead dalam mind, self society.

Individu di abad 21 memiliki pola prilaku yang mendekati konstruksi sosial, bukan “isi” tapi seperti apa “panggung” yang seharusnya dibentuk, nilai tersebut dipengaruhi oleh media apa yang membentuk pribadi tersebut menjadi seperti itu, kredibilitas yang diharapkan sangat jauh dengan realitas masyarakat modern sekarang. Tapi individu berkembang bukan sebuah titik harapan khususnya di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Tapi lubang cahaya harapan besar yang siap untuk diraih. Entah kapan.

Minggu, 02 Februari 2014

Lorde -Royals

I've never seen a diamond in the flesh
I cut my teeth on wedding rings in the movies
And I'm not proud of my address,
In a torn-up town, no postcode envy

But every song's like gold teeth, grey goose, trippin' in the bathroom
Blood stains, ball gowns, trashin' the hotel room,
We don't care, we're driving Cadillacs in our dreams.
But everybody's like Cristal, Maybach, diamonds on your timepiece.
Jet planes, islands, tigers on a gold leash.
We don't care, we aren't caught up in your love affair.

And we'll never be royals (royals).
It don't run in our blood,
That kind of luxe just ain't for us.
We crave a different kind of buzz.
Let me be your ruler (ruler),
You can call me queen Bee
And baby I'll rule, I'll rule, I'll rule, I'll rule.
Let me live that fantasy.

My friends and I—we've cracked the code.
We count our dollars on the train to the party.
And everyone who knows us knows that we're fine with this,
We didn't come from money.

But every song's like gold teeth, grey goose, trippin' in the bathroom.
Blood stains, ball gowns, trashin' the hotel room,
We don't care, we're driving Cadillacs in our dreams.
But everybody's like Cristal, Maybach, diamonds on your timepiece.
Jet planes, islands, tigers on a gold leash
We don't care, we aren't caught up in your love affair

And we'll never be royals (royals).
It don't run in our blood
That kind of luxe just ain't for us.
We crave a different kind of buzz.
Let me be your ruler (ruler),
You can call me queen Bee
And baby I'll rule, I'll rule, I'll rule, I'll rule.
Let me live that fantasy.

Ooh ooh oh
We're bigger than we ever dreamed,
And I'm in love with being queen.
Ooh ooh oh
Life is great without a care
We aren't caught up in your love affair.

And we'll never be royals (royals).
It don't run in our blood
That kind of luxe just ain't for us.
We crave a different kind of buzz
Let me be your ruler (ruler),
You can call me queen Bee
And baby I'll rule, I'll rule, I'll rule, I'll rule.
Let me live that fantasy.

Go(o)d

Apapun agamamu, semua bergerak melalui kerendahan hati, pencarian jiwa, dan kontemplasi doa hingga orang yang berteriak-teriak tentang agama dan mengkafirkan siapa saja yang bertentangan dengan atribut agamanya mencapai titik toleransi.

“All religions are true, because they are true in the hearts of all those who believe in them. What other kind of truth is there? In the past, the church has been harsh on those it deemed morally wrong or sinful. Today, we no longer judge. Like a loving father, we never condemn our children. Our church is big enough for heterosexuals and homosexuals, for the pro-life and the pro-choice! For conservatives and liberals, even communists are welcome and have joined us. We all love and worship the same God.”

“God is changing and evolving as we are, For God lives in us and in our hearts. When we spread love and kindness in the world, we touch our own divinity and recognize it. The Bible is a beautiful holy book, but like all great and ancient works, some passages are outdated. Some even call for intolerance or judgement. The time has come to see these verses as later interpolations, contrary to the message of love and truth, which otherwise radiates through scripture. In accordance with our new understanding, we will begin to ordain women as cardinals, bishops and priests. In the future, it is my hope that we will have a woman pope one day. Let no door be closed to women that is open to men!”

-Pope Francis 

Senin, 06 Januari 2014

"Bahasa"

"Mulutmu adalah harimaumu"

kata-kata wisdom word yang mengingatkan dan kadang terucap tanpa sadar ketika seseorang melakukan kesalahan dalam berbicara. Dalam bahasa yang terlontar tersebut merupakan tanggung jawab individu yang mengeluarkannya. 

Betapa banyak ungkapan klise yang sering kali kita dengar dan pakai setiap hari. betapa tidak, bahkan kadang sulit untuk mengungkapkan perasaan terdalam dengan cara yang ekspresif serta komunikatif hingga sampai pada orang lain.

Manusia terkadang lupa akan pentingnya bahasa. karena dari semua perselisihan, perbedaan pendapat, hingga rasa benci diawali dengan bahasa. ya, bahasa yang dibangun dengan jutaan statement yang terkadang gagah, menghardik dalam pidato, slogan-slogan, poster, indoktrinasi, ganyang!, hajarrrr! dan lainnya.

Kini, bahasa yang menentukan siapa kawan, siapa lawan. yang memberikan makna yang membatu bahkan hakiki.
Bahasa yang mengkotak-kotakkan masyarakat, sehingga timbul intrik serta egosentrisme suku bangsa yang majemuk.
Bahasa yang melupakan, harga bahan pokok yang kian mencekik serta pendidikan yang kian "mahal" untuk didapat.
Bahasa yang mempertontonkan dialektika yang tidak terkonstruksi dengan konsep matang, hingga debat kusir para elit politis dalam mengamankan diri,kelompok, dan masa depan keluarganya.

Untuk itu, bahasa tak berdiri sendiri . ia bagian dari kehidupan yang dibangun para penguasa, otoritas,monopolitis, serta manusia-manusia praktis tanpa wajah tanpa nama.

Mungkin motif-motif penyampaian bahasa yang makin tersamarkan oleh kepentingan dan ketidak jujuran. hingga kita lupa seharusnya "itu bicara" bukan "aku bicara" karena aku merupakan subjek yang terkadang terbata-bata dan tidak selamanya berhasil sepenuhnya.

yaah... 
tak heran bila dunia ini timbul perang, musuh hingga konspirasi

Sampai pada akhirnya bahasa lugu kaum proletar, serta gerutu kecil penikmat warung kopi pinggir jalan, hanya menjadi bahasa kecil, bahasa tak terucap, tak terdengar. Yang mengakomodir ego bangsa yang merindukan kesejahteraan dan ingin mencicip manisnya gula demokrasi dan kebebasan berekspresi.

"harimaumu ada didalam niat bukan pada mulutmu lagi"

Rabu, 09 Oktober 2013

/

satu per dua setengah

putih per hitam palsu

malam per siang gelisah

majemuk per kelompok darah!


tubuh per jiwa mati!!
PER setan PER !!!